
Sumatera Barat, kabarbelitung.com – Ketika Asta Cita digaungkan oleh Presiden Prabowo sebagai upaya serius dalam menangani kasus korupsi besar di Indonesia, harapan besar pun muncul, terutama untuk daerah-daerah rawan korupsi seperti Sumatera Barat. Namun, nyatanya, semangat itu tampak seperti angin lalu di ranah minang Sumatera Barat. Asta Cita seolah tidak dianggap serius, para pengendali kekuasaan di balik layar dalam penegakan hukum justru memilih diam dan membisu menghadapi skandal korupsi dengan nilai yang sangat fantastis.
Penanganan kasus korupsi berskala besar di Sumatera Barat jarang sekali terjadi, bahkan hampir bisa dikatakan tidak pernah terekspos dan ditindaklanjuti secara tegas. Keadaan ini meninggalkan pertanyaan besar tentang keseriusan penegakan hukum di wilayah Sumatra Barat, di tengah maraknya dugaan skandal yang menyentuh angka-angka besar dan berdampak luas bagi rakyat Dan Sektor Kerugian Ekonomi Bagi Negara. Salah Satunya Ancaman Serius Yaitu pengrusakan Hutan Dan Jual Beli kawasan Hutan Baik Lindung maupun HPK .
Pada jumat (20/06/2025) Sejumlah aktivis Mahasiswa dari Semmi melakukan aksi demo didepan kantor kejaksaan tinggi sumatra Barat. Aksi Mahasiswa dan aktivis itu menyuarakan keresahan mereka tentang lambanya pergerakan penanganan Gakum tentang masalah Lahan yang terjadi di solok selatan, Bahkan dalam tuntutannya Mahasiswa meminta kejaksaan agung untuk mencopot Yuni Daru sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Sumbar.
Bahkan kejadian pemalakan hutan di Tanjung Kaliang Sumatera Barat, cukup membuat kita sebagai Masyarakat Kabupaten Sijunjung Sumatra Barat “Ranah Minang” harus berpikir keras tentang nasib penegakan hukum ke depan. Nyaris tidak ada tindakan hukum yang nyata dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam penanganan kasus korupsi yang melibatkan Para pejabat tinggi di lingkungan Pemerintah Kabupaten.
Keadaan ini membuat banyak orang kaget ketika pemberitaan mulai mencuat dan menjadi isu Nasional. Barulah ada Gerakan signifikan dari Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) yang turun. Namun kini situasi dalam penanganan perkara Skandal Hutan di Nagari Tanjung Kaliang terkesan lemot dan jalan di tempat.
Kejadian ini mencuat setelah adanya Laporan Masyarakat yang menyurati Kejaksaan Agung pada awal tahun 2025. Merespons laporan tersebut, Kejaksaan Agung menurunkan Tim dari pusat untuk mencari dan menyelidiki informasi yang ada. Setelah penyelidikan berlangsung, sejumlah orang yang diduga terlibat dan mengetahui kejadian tersebut dimintai keterangan oleh Kajati Sumbar.
Padahal pada tahun 2023 lalu, sudah ada pemberitaan dari stasiun TV Nasional dan media online yang mengangkat kasus ini, namun nihil tindakan hukum.
Mengurut kejadian dari skandal buruk ini, ternyata perambahan hutan yang diduga ilegal dengan luasan kerusakan hutan 700 -1000 hektar telah menimbulkan polemik besar di tengah masyarakat. Bahkan rahasia kelam yang selama Ini disimpan rapat dan menyeret Pemerintahan Kabupaten Sijunjung dalam pusaran dugaan kasus korupsi mulai terendus dari pendalaman Kasus Ini.
Skandal dugaan korupsi yang selama ini terjadi sejak tahun 2006 akhirnya mencuat ke publik dan mengundang banyak tanda tanya. Apakah karena lemahnya penegakan hukum, atau ada sesuatu yang disembunyikan oleh mereka yang memegang kendali atas hukum?
Kasus dugaan korupsi ini berpotensi menjadi skandal terbesar yang akan terungkap di Sumatra Barat. Mengapa? Karena dugaan skandal ini bertumpu pada dugaan kejahatan pemakaian uang negara, perusakan hutan ratusan sampai ribuan hektar, dan dapat dikategorikan dalam kejahatan lingkungan.
Menurut informasi di lapangan yang didapati oleh wartawan, dalam skandal ini banyak pihak terlibat mulai dari penegak hukum hingga mafia elit lokal yang berjibaku bekerja sama. Bahkan dari sana muncul dugaan skandal dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang menyeret seorang jaksa aktif berinisial HAS.
HAS sendiri sudah diperiksa oleh Bagian Jamwas Kejaksaan Agung dan kasusnya dilimpahkan kepada Kajati Kepulauan Riau. Ketika wartawan menghubungi HAS, dia mengaku.
“Benar telah menyerahkan sejumlah uang kepada Ninik Mamak di sebuah ruangan, yaitu ruangan Direktorat Reserse Kriminal Umum (Direskrimum) Polda Sumbar,” ujarnya.
Menurut HAS, uang itu adalah milik Lilik alias Sugito dan dia disuruh menyerahkan uang tersebut atas perintah Lilik alias Sugito.
Dalam rangkuman kejadian ini, seluruh skandal mulai terbuka. Bahkan tim yang bertugas berhasil mengumpulkan dokumen yang diduga sangat erat hubungannya dengan hutan di Tanjung Kaliang serta Pemerintah Kabupaten Sijunjung.
SK BUPATI, PEMBERIAN IZIN KERJA SAMA PENGOLAHAN LAHAN
Pada tahun 2006, Pemkab Sijunjung membeli sejumlah ratusan hektar hutan untuk dijadikan aset perkebunan sawit dan penambahan PAD. Pendanaan pembelian aset ini berasal dari APBD 2006 sebesar Rp750 juta, uang pembelian tersebut di-upload di Bagian Kabag Pem (Tapem saat ini), kepada Ninik Mamak setempat di Kecamatan Kamang Baru. Namun, status kawasan hutan itu belum dilepaskan dan masih berstatus Hutan Produksi Konversi (HPK). Dan Itu diperkuat oleh pernyataan AW Mantan Pensiunan Pejabat Kabupaten Sijunjung.
“iya benar Pemerintah membeli lahan di Air Amo Kecamatan Kamang Baru pada aat itu dan pelepasan Kawasan Hutan di tumpangkan Kepada Karbindo dalam bentuk Kerja Sama,” tutur AW Kepada Awak Media.
Dalam dokumen yang di dapati Ada dua SK yang di keluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Sijunjung dan Satu Surat dari Dinas Pertanian kala itu.
Pada tahun 2014, Pemkab menerbitkan SK Bupati Sijunjung No: 188.45/459/PTSP/BLHPMPT-2014 dengan isi sebagai berikut:
• Diktum Kesatu: Memberikan izin lokasi pembangunan perkebunan kelapa sawit kepada PT Karbindo Internasional seluas 6.799 hektar, yang berlokasi di Nagari Kamang, Maloro, Air Amo, dan Nagari Tanjung Kaliang, Kecamatan Kamang Baru.
• Diktum Kedua: Sebelum memanfaatkan lahan Perusahaan Daerah Perkebunan Binuang Sejahtera dan kebun plasma Nutfah seluas ±1.200 hektar, PT Karbindo Internasional harus terlebih dahulu membuat kerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Sijunjung.
• Diktum Ketiga: PT Karbindo Internasional wajib mengurus pelepasan kawasan hutan kepada Kementerian Kehutanan sebelum lahan dapat dikelola.
Namun, pada tahun 2015, Pemkab Sijunjung menerbitkan surat resmi No: 521.04/1402/Bun/VI/2015 yang menyatakan:
• Status lahan Plasma Nutfah adalah sewa selama 60 tahun dan belum tercatat dalam SIMAK–BMN (Aset) Ditjenbun Kementan RI. Oleh karena itu, kewenangan kerja sama atas lahan tersebut berada di Ditjenbun dan tidak bisa dikerjasamakan dengan PT Karbindo Internasional.
• Lahan Plasma Nutfah dan lahan Pemda seluas 1.200 hektar otomatis dikeluarkan dari izin lokasi PT Karbindo Internasional. Maka luas lahan yang dapat dimanfaatkan oleh PT KI tinggal 5.599 hektar.
Namun anehnya, pada tahun 2016, Pemkab kembali mengeluarkan izin:
• SK Bupati Sijunjung No: 188.45/246/X/PTSP/BLHBMPT-2016 memberikan Izin Usaha Perkebunan Budidaya (IUP-B) kepada PT Karbindo Internasional untuk lahan seluas 6.799 hektar (termasuk kembali 1.200 hektar yang sebelumnya dikeluarkan), dengan syarat wajib memiliki AMDAL, UKL-UPL, dan HGU.
Berdasarkan hasil wawancara dengan DPMPTSP Sijunjung pada 20 Mei 2025, PT Karbindo Internasional hingga kini tidak melakukan aktivitas apapun di lapangan bahkan Juga tidak melihatkan dokumen berupa Amdal, UKL-UPL.
Dalam Penelusuran melalui Dokumen yang di dapat terdapat dugaan kejanggalan antara Surat dan SK yaitu surat dari Dinas Pertanian tahun 2015 yang menyatakan lahan Plasma Nutfah dan lahan pemda1200 hektar di keluarkan dari Izin Karbindo Internasional karna lahan belum masuk dalam Aset Ditjen Bun.
Namun pada tahun 2016 PT KArbindo Inter Nasional justru kembali di izinkan memakai lahan tersebut, dari semula Luasan izin lokasi berkurang menjadi 5599 hektar malah kini Kembali menjadi seperti yang semula 6779 hektar yang artinya pemakaian lahan plasma nutfah dan lahan pemda yang telah dipisah izinnya justru kembali lagi dalam izin lokasi PT karbindo Internasional dan Itu terlihat dari peta Izin Lokasi dan SK Bupati Tahun 2016.
Kejahatan lingkungan yang mengakibatkan kerusakan Hutan di Nagari Tanjung Kaliang , Kabupaten Sijunjung, Sumatra Barat Seperti di biarkan tanpa ada Hukum yang bertindak. Kasus pemalakan hutan di Tanjung Kaliang bukan sekadar isu lokal, melainkan dugaan skandal mega korupsi terbesar yang mengancam masa depan ekologis dan keadilan di Ranah Minang Sumatra Barat.
Masyarakat menunggu langkah tegas aparat hukum untuk mengungkap dan menindak seluruh jaringan mafia yang merusak ekosistem Hutan.
(Tim/R/G)